Pilih Laman

Selasa, 15 November 2016 | teraSeni~

Seusai pertunjukan para penari menitihkan air mata, bukti atas peluh keringat mereka atas duabelas bulan masa persiapan karya terbaru Eko Supriyanto, Balabala. Pilihan Eko untuk mengajak lima perempuan asal Jailolo, Maluku Utara, di dalam karyanya telah berbuah manis. Tidak hanya tampil, Eko telah menyihir kemampuan menari mereka dengan sangat cakap dan cermat. Balabala mempesona penonton di World Premiere pada sabtu (5/11) dan minggu (6/11) di Blackbox, Komunitas Salihara.

Dipertunjukan sebagai penutup SIP Fest 2016, Salihara International Performing-Arts Festival, karya Eko Supriyanto ini telah memberikan sajian pertunjukan yang berbeda. Alih-alih hanya berada pada bayang-bayang repertoar sebelumnya, Cry Jailolo, repertoar Balabala telah memberikan impresi yang tidak kalah kuat. Kendati beberapa gerak hampir serupa, namun Eko telah membuat komposisi tari yang berbeda, mulai dari seleksi penari, pilihan akan variasi ragam gerak, hingga alur pertunjukan.

Dalam karya ini Eko kembali berkolaborasi dengan dua sosok lain di balik keberhasilan Cry Jailolo, yakni: Arco Renz, dalam meniptakan dramaturgi dari pertunjukan; dan Iskandar K. Loedin sebagai scenographer dan penataan cahaya. Tidak hanya itu, kini Eko turut berkerjasama dengan Erika Dian dalam penataan busana; serta Nyak Ina Raseuki atau kerap dikenal Ubiet, melalui komposisi musik yang telah membuat kesan magis di awal pertunjukan, kesan energik di tengah pertunjukan, dan kesan otentik di akhir pertunjukan. Alhasil para penari yang terdiri dari: Yimna Meylia Meylan Runggamusi, Siti Sadia Akil Djalil, Yezyuruni Forinti, Mega Istiqama Arman Dano Saleh, dan Dian Novita Lifu berhasil menyampaikan kesan dan pesan akan perempuan Jailolo selama 60 menit durasi pertunjukan.

Tari Bala-Bala Karya Eko Supriyanto-teraSeni
Salah Satu Adegan dari
Tari Bala-Bala
Karya Eko Supriyanto
(Foto: Witjak Widji Chaya)

Memburu Mata Mencekam Rasa
Teram temaram cahaya hijau menyinari, seorang perempuan melangkah perlahan memasuki panggung pertunjukan. Berdiri di panggung bagian belakang menatap tajam ke arah penonton. Bersamaan dengan itu, empat orang penari lainnya masuk perlahan dari arah yang berlainan. Berdiri tegak memandang, sayup-sayup suara mulai terdengar. Suara senandung bernada rendah mulai terdengar disambung dengan nada tinggi lainnya. Perlahan seorang penari melangkah ke tengah panggung. Memandang penonton dengan tatapan tajam, ia mulai bergerak dengan sederhana. Hal itu turut dilakukan secara bergantian dengan penari lainnya. Dengan suara layaknya teknik acapela yang lebih tinggi dan ramai, gerak penari yang lebih pelan seakan memberikan impresi yang kokoh.

Tari Bala-Bala Karya Eko Supriyanto-teraSeni
 Adegan lain dari Tari Bala-Bala
Karya Eko Supriyanto
(Foto: Witjak Widji Chaya)

Setelahnya suara acapela tadi pun berganti menjadi bunyi EDM (electornic dance music) yang lebih berderap, tetapi monothon. Diperkuat dengan nuansa cahaya yang berubah menjadi lebih terang, yakni kuning, satu per satu para penari mulai bergerak lebih cepat. Pada bagian ini para penari sudah mulai memperlihatkan pola dan ragam gerak yang lebih panjang. Para penari melakukan ragam gerak secara bersamaan melangkah ke kiri dan ke kanan. Yang menarik, mereka juga membentuk formasi saling silang pola lantai yang membuat visual pertunjukan semakin beragam. Tidak hanya itu, para penari juga membentuk formasi gerak antara satu dengan lainnya secara berlainan. Lima ragam gerak yang berbeda dalam satu panggung tersebut lantas membuat visual pertunjukan semakin menawan.

Cahaya yang menaungi sekujur tubuh penari pun berganti menjadi merah, tanda akan nuansa pertunjukan yang berubah. Mereka kembali menatap tajam ke arah penonton, bersamaan dengan itu semua penari mengepalkan tangan kirinya. Tangan terkepal itu lantas begetar layaknya emosi yang tak tertahankan. Para penari tersebut menatap kelimpungan tangan mereka masing-masing. Tidak hanya menatap dan mengepal, secara bergantian para penari turut melakukan ragam-ragam gerak tadi. Hingga mereka bergerak dengan ragam dan tarian yang sama.

Tari Bala-Bala Karya Eko Supriyanto-teraSeni
Salah Satu Adegan dari
Tari Bala-Bala
Karya Eko Supriyanto
(Foto: Witjak Widji Chaya)

Tiga per empat pertunjukan berlangsung, maka akan terbayang bagaimana Eko mengemas bagian akhir pertunjukan. Terlebih pada bagian awal dan tengah sudah memiliki impresi yang sangat kuat. Lantas untuk menyelesaikan pertunjukan, Eko yang berkolaborasi dengan penata cahaya—Iskandar K. Loedin—mengganti nuansa pertunjukan dengan lampu panggung berwarna putih yang justru menunjukan secara jelas para penari. mengganti nuansa pertunjukan dengan lampu panggung berwarna putih yang menunjukan secara jelas para penari. Ditutup tanpa alunan musik, secara lantang dan bergantian mereka justru berbicara menggunakan bahasa lokal mereka, Jailolo. Dibarengi sesekali dengan ragam gerak, para penari seakan semakin jelas terlihat, tidak hanya secara visual dari anatomis dan gerak kepenarian, namun suara percakapan yang terdengar lantang telah menunjukan mereka berada ‘di antara’ kita. Bersamaan dengan itu, samar-samar lampu memudar, tanda pertunjukan telah usai.

Dari dan Untuk Indonesia Timur
Paska kesuksesan repertoar Cry Jailolo dengan world tour-nya, salah satu ketakutan terbesar akan kekaryaan Eko adalah berhentinya kreativitas dalam menciptakan karya selanjutnya. Terlebih repertoar Balabala juga bersumber dari kehidupan masyarakat Jailolo, sehingga tingkat kesulitan untuk membuat karya yang berbeda dirasa cukup sulit dilakukan. Namun ketakutan tersebut seakan telah dijawab secara langsung oleh Eko setelah menyaksikan repertoar Balabala.

Dari pertunjukan tersebut, Eko memang telah terang-terangan menyatakan bahwa inspirasi gerak akan karyanya turut berasal dari tarian Soya-soya dan Cakalele, tari masyarakat Jailolo. Namun kepiawaian Eko dalam mencipta koreografer telah membuat tarian rakyat tersebut telah berubah dari akarnya, namun tetap representatif. Dengan gerakan lambat nan berirama, tarian yang lazimnya dimainkan oleh laki-laki tersebut justru terkesan kokoh dan menyentuh ketika dimainkan oleh perempuan. Terlebih terbalut pesan akan posisi perempuan yang kerap tidak diperhatikan khususnya di daerah terpencil bagian timur Indonesia.

Tari Bala-Bala Karya Eko Supriyanto-teraSeni
Tampak Atas Pola Lantai
dari Tari Bala-Bala
Karya Eko Supriyanto
(Foto: Witjak Widji Chaya)

Selain pada pesan, repertoar Balabala juga membawa kesan yang dramatis dari para penari. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih terlihat wajah dan gerak yang gugup dari penari, terlebih pertunjukan itu adalah kali pertama mereka tampil. Namun tingkat adaptasi mereka  atas panggung cukup cepat. Kegugupan gerak di awal pertunjukan seakan terbayar lunas dengan kepercayaan diri para penari Balabala di tengah dan akhir pertunjukan. Dan di sinilah kita dapat melihat kepiawaian Eko dalam mencermati kesenian setempat, dan tidak memaksa kelima penari untuk menarikan tari tradisi Jawa atau Bali. Eko justru berhasil mengembangkan dari apa yang masyarakat setempat miliki. Alhasil gerak demi gerak—terlebih adanya percakapan antar penari di akhir pertunjukan—terasa sangat otentik.

Dari karya ini, agaknya kalimat think locally act globally telah terimplementasikan tegas. Di mana bertolak dari pikiran dan laku setempat, menjadi sebuah aksi yang diakui masyarakat internasional. Dan rasanya langkah seperti inilah yang dirasa jitu dalam menunjukan wajah tari kontemporer Indonesia di kelas dunia.