Pilih Laman

Sabtu, 23 Mei 2020 | teraSeni.com~

Malam Takbiran Idul Fitri tahun ini nampaknya akan terasa kering akibat keterbatasan ruang gerak dampak dari pandemi Covid-19. Mungkin tidak akan nampak kemeriahan perayaan malam seperti tahun-tahun silam. Takbiran pada dasarnya adalah bentuk praktik keberagamaan umat Islam, sebagai penanda berakhirnya ibadah puasa Ramadhan. Takbiran dilakukan dengan cara melafalkan kalimat Takbir secara berulang-ulang. Aktivitas perayaan malam takbir atau biasa disebut Takbiran khususnya di Indonesia pada umumnya diisi dengan beragam ekspresi kegiatan. Ada yangkumpul-kumpul singgah di mushola atau masjid, berjalan keliling kampung, konvoi di jalan raya, ataupun lomba takbir keliling.

Kegiatan ini sudah menjadi tradisi dan rutinitas masyarakat di berbagai wilayah Indonesia lintas agama. Bagi pemeluk Islam, Festival ini menjadi bagian dari praktik keberagamaan, dan bagi non muslim bisa menjadi wahana rekreatif serta edukatif. Tidak terkecuali di Yogyakarta, agenda Festival Takbir menjadi salah satu momen yang selalu dinantikan oleh masyarakat. Kurun waktu tiga tahun terakhir ini, saya menyempatkan untuk menyaksikan pergelaran Festival Takbir Keliling dalam rangka memperingati hari raya Idul Fitri yang diselenggarakan oleh PHBI (Panita Hari Besar Islam) kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta. Kegiatan tingkat provinsi ini memperebutkan trophy Walikota Yogyakarta dan digelar di halaman Museum Perjuangan dengan melibatkan ratusan partisipan. Peserta lomba mayoritas berasal dari masyarakat kecamatan Mergangsan dan sekitarnya yang mewakili Masjid di lingkungan tempat tinggal mereka (Pawestri, 2019).

festival takbir : teraseni.id
Para peserta festival takbir dengan atribut berupa lafaz Allah dan Muhammad
Foto: instagram phbimergangsan

Festival Takbir di kecamatan Mergangsan memiliki tema yang berubah-ubah tiap tahunnya. Salah satu tema yang pernah diangkat diantaranya “Kejayaan Islam di Nusantara” dan Isyahdu Bi Anna Muslimun (Tunjukkanlah bahwa kami orang-orang Muslim). Tema yang telah ditentukan menjadi acuan para peserta dalam menyajikan bentuk garapannya. Teknis penyajian karyanya dimulai dengan display di garis start dengan durasi tiga menit, kemudian berjalan menyusuri rute yang telah ditentukan. Aspek penilaian ditinjau dari aspek ketepatan lafal Takbir, kreativitas maskot, lampion, musik, tarian, kostum, dan baris. Kriteria tersebut dinilai oleh masing-masing juri yang berkompeten dibidangnya.

Pengalaman saya menghadiri pergelaran Festival Takbir tersebut menyisakan bayang-bayang yang acapkali menggelisahkan, baik dari aspek artistik hingga kontekstual. Tiap-tiap peserta memang menyajikan corak dan ekspresi garapan yang berbeda-beda, tetapi tetap terasa sama, bukan karena lafal Takbirannya, tetapi karena bentuk penyajian yang bernuansa“drum band”, terutama terlihat jelas dari alat musik, gerakkan, dan kostum yang dikenakan. Ada juga beberapa kelompok yang bereksplorasi dengan gamelan Jawa, angklung malioboro, wayang kulit, dan hadrah dalam penyajiannya.

Kegelisahan yang saya rasakan dan pertanyakan muncul ketika menyaksikan konten tekstual (takbir, musik, tari, maskot, lampion, festival, dan hadirin) dengan simbol-simbol agama yang dihadirkan terutama kalimat Takbir. Seluruh aspek teks dan konteks tersebut dipergelarkan dalam satu ruang dan waktu, sebagai bagian dari peringatan hari besar agama Islam. Di sini saya menyimpulkan bahwa terdapat persinggungan antara seni sebagai teks dengan agama sebagai konteks. Maka dalam tulisan singkat ini, saya berupaya untuk membaca seperti apa pola kerja relasi antara seni dan agama melalui studi kasus Festival Takbir di Yogyakarta.

festival takbir : teraseni.id
Arak-arakan salah satu peserta festival takbir
Foto: instagram permata_tamtama

Festival dan Ritual 

Istilah festival itu sendiri memiliki beragam pengertian dan senantiasa dikembangkan oleh para ahli. Salah satunya oleh Alessandro Falassi yang menjelaskan festival berdasarkan etimologi dan epistemologi. Festival diserap dari Bahasa Latin, festum (kegembiraan) dan feriae (penghormatan kepada dewa). Feria dalam Bahasa Itali dan Spanyol menitikberatkan pada kegiatan keagamaan, lalu dalam Bahasa Inggris (old English) berkembang menjadi fair (pekan raya) yang mengarah pada kegiatan komersial. Falassi memaknai festival sebagai kegiatan upacara bersifat periodik dan temporal. Festival berhubungan dengan ritual yang menghadirkan partisipan dalam satu komunitas masyarakat yang diikat oleh ras, bahasa, etnik, agama, dan sejarah (Murgiyanto, 2017).

Festival Takbir melibatkan berbagai macam elemen, yaitu pihak penyelenggara event, peserta, dan penonton. Kegiatan ini seyogyanya adalah bagian dari agenda praktik keagamaan. Festival Takbir adalah bentuk lain dari cara mengekspresikan kalimat takbir. Takbiran menjadi salah satu elemen dalam rangkaian tradisi praktik keberagamaan umat Islam khususnya di Yogyakarta serta beberapa wilayah di Indonesia pada umumnya.

Festival Takbir menjadi media bagi masyarakat untuk bersosialisasi dalam satu ruang dan waktu yang bersifat temporal. Peristiwa festival tersebut menjadikan aspek ritual dan hiburan saling berkelindan. Kegiatan Festival Takbiran Keliling mencerminkan ragam bentuk festival yang ditawarkan oleh Falassi yaitu sebagai a) Rites of competition, berarti kontestan bersaing dan menghasilkan pemenang dan ada yang kalah. b) Rites of purification atau ritus pemurnian atau pembersihan diri. c) Rites of Conspicuous Display, dapat diinterpretasikan sebagai media menampilkan ekspresi dalam bentuk pawai atau karnaval (Murgiyanto, 2017).

festival takbir : teraseni.id
salah satu bentuk artistik yang dikonstruksi di area festival
Foto: instagram phbimergangsan

Yang Sakral dan Profan 

Terdapat stigma yang membangun konstruksi di sebagian besar masyarakat kita, bahwa seni dan agama ibarat air dan minyak. Melalui tulisan ini, saya berupaya meninjau kembali secara singkat relasi antara seni dan agama dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Hal pertama yang saya soroti yaitu tentang konsep sakral dan profan dalam perspektif sosiologi agama.

Definisi sakral dan profan merujuk pada penjelasan Marcia Eliade dan Emile Durkheim. Eliade menjelaskan bahwa sesuatu yang sakral dan profan ditentukan oleh ruang dan waktu. Ruang dan waktu yang sakral selalu menghadirkan dan memanifestasikan keillahian, sedangkan yang profan tidak menghadirkan apa-apa (Eliade, 1959). Ruang dan waktu profan sama seperti waktu-waktu biasa tidak terdapat perbedaan. Berbeda dengan Eliade, Durkheim menjelaskan bahwa yang sakral bersifat komunal atau berkelompok, menghadirkan sesuatu yang supranatural dan memanifestasikannya dalam bentuk simbol-simbol. Sesuatu yang profan lebih bersifat individu atau natural, tidak menjalin relasi dengan yang transenden atau lebih bersifat imanen. Komunal lebih superior, dihormati, serta memiliki hirarki, sedangkan profan adalah bentuk keseharian dan bersifat biasa saja (Kamirudin, 2011).

Dalam dunia seni, istilah sakral dan profan acapkali disematkan dan digunakan untuk membaca sifat dari bentuk karya seni. Secara umum, pembacaan tersebut dilandasi oleh peran seni dalam ritus atau praktik keagamaan atau kepercayaan lokal sebagai wujud simbol. Contoh yang paling umum misalnya gamelan sekaten, gamelan selonding, lagu rokhani, patung dewa-dewi, kaligrafi, dan sebagainya. Tidak terkecuali dengan Festival Takbir di Yogyakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia.

Bercermin pada logika konsep sakral-profan menurut Durkheim dan Eliade, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kegiatan Festival Takbiran dapat dipisahkan mana yang sakral dan profan. Hal yang bersifat sakral terletak pada lantunan kalimat Takbir yang dikumandangkan secara terus-menerus. Kalimat Takbir adalah manifestasi dari simbol agama Islam yang menyiratkan keillahian. Festival Takbir juga dapat diinterpretasikan sebagai ruang sakral, prinsipnya sama yaitu masyarakat berkumpul (bersosialisasi) yang menghadirkan transenden atau keillahian .Hal yang dianggap profan menunjuk pada wujud dan bentuk seni yang digunakan sebagai media perwujudannya. Seni itu sendiri dianggap sebagai sesuatu yang profan, karena secara fundamental diciptakan oleh manusia dan bersifat imanen.

Meleburnya Sakral dan Profan dalam Seni 

Pembacaan mengenai relasi seni dan agama dalam tulisan ini tidak sebatas mengupas bentuk serta ornamentasi artistik dalam simbol-simbol agama saja. S. Brent Plate dalam buku Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics menawarkan konsep membaca ulang agama melalui seni. Konsep tersebut saya gunakan untuk mewacanakan relasi seni dengan agama. Konsep yang ditawarkan oleh Plate tersebut dipengaruhi pemikiran Walter Benjamin. Salah satu analisisnya, Plate menjelaskan bahwa penciptaan mitos dan simbol agama merupakan bentuk praktik kreativitas, yang mengandung upaya being artistic (tindakan artistik) dan being aesthetic (tindakan estetis) (Plate,2011).

Plate juga menegaskan bahwa seni, atau mungkin lebih tepatnya “aktivitas artistik,” berfungsi di dunia religius dan budaya karena bersifat inventif, dengan demikian mengubah sifat tradisi dari mana ia tumbuh”. “Praktik keagamaan adalah praktik inventif yang menciptakan artefak dan cerita baru dari masa lalu, untuk kelangsungan hidup mereka sendiri, tradisi keagamaan harus melibatkan perspektif yang mempertahankan pendekatan yang fleksibel, dapat menjelaskan dimensi kreatif mitos, ritual, dan simbol, dalam kompleksitas kekacauan hidup mereka. Invetif berarti memiliki kemampuan untuk mereka cipta atau merekayasa yang sebelumnya belum ada (Nurvijayanto, 2019,144).

festival takbir: teraseni.id
iringan peserta festival sambil mengumandangkan takbir
Foto: instagram phbimergangsan

Kalimat Takbir berbunyi: Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa illa haillallahuwaallaahuakbar, Allahu Akbar walillaahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan segala puji bagi Allah. Kalimat Takbir merupakan bentuk kalimat pujian untuk mengagungkan nama Tuhan dari agama Islam yaitu Allah SWT. Kalimat Takbir adalah salah satu manifestasi simbol agama Islam. Kalimat tersebut senantiasa membutuhkan wujud untuk dapat diserap oleh panca indera manusia. Maka, dibuatlah nada-nada yang mengandung unsur artistik dan citarasa (estetis) supaya lebih impresif diterima oleh panca indera manusia.

Sugiarto dalam tulisannya memaparkan pandangan Heidegger yang menyebut seni pada dasarnya adalah poiesis, dalam arti menampilkan, membuat tampak dan berwujud. Kekuatan seni adalah melukiskan kedalaman pengalaman yang sebenarnya tidak tampak dan tidak terlukiskan, memperkatakan hal yang tak terumuskan, membunyikan hal yang tak tersuarakan, ataupun menarikan inti pengalaman batin yang tak terungkapkan (Nurvijayanto, 2019, 145). 

Festival Takbir menjadi aktivitas ruang dan waktu bagi para peserta untuk memperlakukan kalimat Takbir secara kreatif. Berbagai upaya dilakukan oleh para peserta untuk menyajikan wujud kreativitas terbaik mereka. Konten seni yang dihadirkan dalam festival Takbir di Kecamatan Mergangsan Yogyakarta meliputi musik, tari, dan rupa. Jenis-jenis seni tersebut dirajut menjadi satu kesatuan karya seni pertunjukan.

Kelompok partisipan festival mengimplementasikan ide/gagasan yang merujuk pada tema yang telah ditentukan oleh panitia sebelumnya. Mereka melakukukan proses kerja kreatif, menggunakan beragam metode penciptaan sesuai dengan daya kreativitas masing-masing. Melalui studi kasus tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sakral dan profan tidak selamanya menjadi sebuah dikotomi, yang memisahkan makna-makna yang sebenarnya bisa jadi bersifat tunggal.

Kreativitas para peserta Festival Takbir di Yogyakrta dalam merajut berbagai bentuk seni menjadi karya pertunjukan telah mempertebal dan mengaktifkan spirit/energi dari kalimat Takbir itu sendiri. Impresi dari spirit tersebut dapat dirasakan oleh para hadirin yang berada dalam peristiwa tersebut, baik itu dari sisi peserta maupun penonton. Logika tersebut menarik benang merah bahwa seni dan agama memiliki relasi yang saling berkelindan. Meleburnya sakral dan profan dalam seni mampu menjadi media praktik spiritualitas bagi pelaku. Spiritualitas yang mampu menjalin relasi secara vertikal dan horizontal, antara manusia dengan transenden/Illahi, sesama manusia serta manusia dengan kosmos (semesta).