Pilih Laman

Senin, 17 Agustus 2020 | teraSeni.com~


Kedua telapak tangannya tertangkup di bibir meja. Ia hanya duduk terdiam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia hanya mendengar dan melihat segala sesuatu yang berada di depannya. Seorang perempuan sambil menangis membawa sebuah bingkai foto dengan bergambarkan wajah seorang perempuan tua yang baru saja meninggal. Namun lagi-lagi, ia hanya terdiam melihat peluh tangis yang terurai di seperempat malam pertama. 
Ketika malam semakin larut, ketika tiada lagi insan di sampingnya, sang perempuan tua itu muncul dalam bayang-bayangnya. Mengembalikan segala ingatan yang telah dijalani oleh mereka berdua sebagai pasangan suami-istri. Kenangan mengarungi kehidupan bersama, yang memancarkan
kebahagiaan dan keintiman. Hal yang hanya diketahui olehnya, bukan orang kebanyakan, bahkan anak atau saudaranya sekalipun. Lantas hanya kenanganlah yang menemaninya hingga fajar—bahkan ajal—menjemput. 
tampak sebuah tangan sedang memegang gelas di meja makan
Foto: arsip Sumonar Festival
Adalah secuil peristiwa pertunjukan dari karya terbaru yang
bertajuk I Know Something that You Don’t Know dari kelompok teater boneka asal Yogyakarta, Papermoon Puppet Theatre (PPT).Setelah berhasil dengan karya A Bucket of Beetles yang dipentaskan secara daring pada awal bulan, PPT kembali menggelar pertunjukan daring untuk karya terbarunya pada rabu (12/8). Namun yang berbeda, karya terbaru mereka merupakan pertunjukan boneka binaural yang bereksperimen pada bunyi dan light mapping. Pun kesempatan eksperimen ini selaras dengan lokus pertunjukan digelar, Sumonar Fest 2020—festival video mapping dan instalasi seni cahaya. 
Berdurasi tidak lebih dari 45 menit, pertunjukan ini dirancang oleh Maria Tri Sulistyani (Ria) dan Iwan Effendi. Cerita yang dibuat oleh Ria tersebut lantas diwujudkan oleh Pambo Priyojati dan Beni Sanjaya, sebagai puppeter. Sementara untuk pertunjukan topeng boneka, Pambo dan Beni dibantu oleh sang pemilik cerita, Ria. Sebagaimana digelar untuk festival cahaya, maka karya ini turut menampilkan light mapping yang diolah menggunakan OHP (overhead projector) oleh Pambo, Beni dan Rusli Hidayat dalam pertunjukannya. Sedangkan pada musik, karya ini kembali mempercayakan Yennu Ariendra untuk mengolah bunyi. Namun dalam mengelolanya menjadi pertunjukan binaural, Iwan Effendi lah yang melakukannya. 
Dipertunjukkan sebagai salah satu repertoar pada festival yang mengangkat tema Mantra Lumina—atau harapan terbaik melalui cahaya—, PPT mengalami lonjakan penonton dari yang sebelumnya hanya digelar untuk 200 orang, menjadi 350 orang. Hal yang mengejutkan, 150 tiket tambahan habis dalam hitungan jam. Di luar keberhasilan penjualan tiket dan atensi penonton, apakah PPT berhasil memberikan sajian
terbaiknya? Adakah yang dapat kita petik dari karya terbarunya? 
Cerita Sederhana dan Cara Ungkap yang Tidak Sederhana

Jujur saja dari sekian banyak karya PPT, cerita yang berakhir dengan air jatuh dari pelupuk mata ke pipi adalah cerita lama. Hampir semua karyanya berakhir demikian. Namun apakah cerita yang berakhir sedih itu salah? Maka jawabnya, tentu tidak. Alih-alih PPT membuat karya dengan romansa
bak sinetron televisi, cerita yang dipentaskan PPT selalu mengunggah, baik secara wacana hingga kesadaran. Kesedihan yang dibangun pun tidak dibuat-buat dan dilebih-lebihkan, melainkan selalu terbentuk dari konsekuensi pemilihan sudut pandang cerita. 

I know Something that You Don’t Know, Ria menerangkan bahwa stimulasi cerita dibuat berdasarkan kisah nyata. Neneknya yang berusia 108 tahun selalu duduk dan diam di sisi yang sama. Melihat sang nenek, Ria menyadari bahwa berapa banyak memori yang ia rekam secara indrawi ketika ia duduk menyaksikan pelbagai aktivitas yang terjadi di depan matanya. Lantas stimulasi tersebut diimbuhkan Ria dengan cerita sederhana yang ada di sekeliling kita, kehilangan. 
beberapa orang sedang memperkatakan sesuatu
Foto: arsip Sumonar Festival
Di dalam pertunjukan, sang kakek hanya diam—tanpa sepatah kata apa pun keluar dari mulutnya—melihat keadaan setelah kehilangan terjadi. Sementara orang di sekitarnya kalang kabut merasakan kesedihan, tetapi seakan lupa setelah ia keluar dari pintu rumah. Namun hal yang menarik, di antara
kesedihan itu, sang kakek yang selalu diam justru menyimpan sebuah memori yang lebih dari siapa pun. Kenangannya bahkan menuntunnya untuk bertemu kembali dengan sang mendiang istri. 
Hal ini tentu menohok bagi saya, di mana diam seperti yang kakek lakukan bukan kegiatan pasif, melainkan kegiatan aktif menyimpan segala kejadian ke dalam bentuk memori yang terkadang lebih tajam. Tamparan lebih jauh adalah apakah kita lebih banyak mendengar atau justru ingin
didengarkan? Dari sinilah saya berpendapat bahwa PPT selalu mengemas persoalan besar dengan cerita yang sederhana, tetapi subtil dan menggugah kesadaran. 
Tidak hanya sampai di situ, PPT mengemas pertunjukan dengan tidak tanggung-tanggung. Di mana sudut pandang sang kakek dipaksakan—dalam artian yang positif—kepada penonton. Sederhananya, sang kakek adalah kita, penonton. Hal ini ditandai dengan kedua telapak tangan yang tertangkup di meja berada persis di depan layar bagian bawah, sehingga seolah-olah pandangan layar si kakek adalah pandangan mata penonton. Dari situ
lah emosi pertunjukan semakin meningkat dan larut, di situ lah penonton merasakan
liminoid di dalam pertunjukan. 
Ketika Teater Boneka Bernegosiasi dengan Teknologi 
Bukan tanpa sebab, PPT bermigrasi ke platform pertunjukan digital. Adalah Covid-19 yang masih menghantui dan memengaruhi pertunjukan fisik di Indonesia, menjadi penyebabnya. Alih-alih hanya meminjam platform dan format pertunjukan digital sebagai medium presentasi, PPT justru berhasil bermain-main dengan luwes dengan momok yang kerap diwaspadai oleh insan teater ataupun teater boneka. 
Pada I know Something that You Don’t Know PPT berhasil menggunakan teknologi digital sebagai bagian dari pertunjukannya. Hal ini berkelindan pada karyanya, yakni: pertama, PPT memfungsikan layar sebagai bagian dari karyanya. Sebagaimana pertunjukan digital memaksa jarak dan jangkauan pandang yang tunggal, berbeda dengan pertunjukan fisik, maka PPT menjadikan layar yang disaksikan penonton seolah-olah menjadi si kakek di dalam
pertunjukan. Ditandai dengan kedua telapak tangan yang tertangkup di meja adalah pikiran cerdik PPT menjadikan teknologi sebagai bagian dari cara ungkap pertunjukan. 
pupet lengkap dengan ekspresi di atas meja
foto: arsip Sumonar Festival
Pun saya sempat menimbang-nimbang, bagaimana perwujudan karya ini jika dipentaskan secara fisik? Apakah sudut pandang yang ditandai tangan tertangkup di depan layar akan berubah? Apakah hal ini hanya berhasil jika dipentaskan secara daring? Maka dari itu, karya ini berhasil menggunakan teknologi tidak hanya sebagai cara ungkap, tetapi juga estetika dari pertunjukan itu sendiri. Hal ini mengingatkan saya pada pernyataan Daniel Meyer-Dinkgräfe (2015)di mana liveness pada live-streaming tidak hanya meminjam ruang daring semata, tetapi mengolahnya sebagai bagian dari pertunjukan dan menghidupkan liveness-nya sendiri. 
Kedua, pertunjukan binaural yang bereksperimen pada bunyi. Tidak hanya diputar sebagaimana mestinya, musik di dalam pertunjukan diolah menjadi
mode suara kitar (surround sound). Ada beberapa elemen bunyi pada musik yang lebih diperkuat seolah-olah nyata,seperti bunyi nyamuk, tokek, motor, dan serta ketukan pintu. Jadi bebunyian tersebut seolah-olah ada di sekitar kita jika kita menggunakan headphone atau earphone. Hal ini mengingatkan saya pada teknologi musik 8D, 24D, hingga 32D, yang elemen musiknya diurai dan dapat ditempatkan lebih kuat untuk mendukung pengalaman dengar tertentu.
Ketiga, penggunaan OHP dan artistik pertunjukan. Sejujurnya penggunaan bayang-bayang pada pertunjukan PPT bukan hal baru. Namun di dalam
karya ini, permainan bayang-bayang mendapat porsi yang kuat dan menentukan, yakni ketika mengartikulasikan memori kakek dan istrinya. Permainan
bayang-bayang yang dioperasikan dengan menggunakan OHP dengan layar tembak, seperti pintu, jendela, teko, membuat pertunjukan semakin dramatis. 
Ketiga poin itu lah yang membuat karya ini menjadi penting dalam lanskap pertunjukan daring selama pandemi. Di mana ia tidak hanya meminjam ruang, tetapi mempertimbangkan unsur daring, mulai dari layar hingga suara sebagai sesuatu yang juga digarap. Namun terlepas dari keberhasilan
kelindan teknologi, PPT memanggul tanggung jawab besar. Pasalnya ia menjadi acuan penonton—dan juga seniman lain—dalam melihat seni pertunjukan
kontemporer, khususnya pada teater boneka. Maka PPT perlu terus merawat daya kritisnya agar tidak terjebak pada format yang baku dan itu-itu saja.[]