Pilih Laman
Jumat, 15 Oktober 2021 teraSeni.id~
Siang hari sekitar pukul 12.00, 28 September 2021, sehari sebelum pementasan Teater Garasi. Masuk Whatshapp (WA) dari mba Lusia Neti Cayahani. Memberi undangan apa bila ada waktu dapat datang ikut menonton “pertunjukan” Garasi di Studio. Sebuah persiapan pertunjukan untuk festival yang di selenggarakan sebuah institusi kebudayaan Belanda.
Malam Rabu, 29 September 2021 pukul 20.00 WIB, sudah hadir di studio Garasi. Sesuai undangan, rasanya lama juga tidak meyaksikan pertunjukan secara langsung. Sehingga memantik penasaran pementasan seperti apa yang akan disajikan malam ini. Ruang studio teater Garasi telah dihadiri oleh beberapa orang. Ada layar putih menggantung, lampu menyala terang, mic, sound system. Ada orang-orang yang telah datang lebih awal menduduki kursi tertentu, sementara yang baru datang diminta mengisi beberapa kursi yang telah disediakan pada bagian sudut tertentu. 
Pertunjukan dimulai dengan ucapan selamat datang bagi penonton yang telah datang mengandiri undangan, sedikit pengantar mengenai pertunjukan, serta beberapa pemberitahuan dan aturan dalam menikmati peristiwa pertunjukan ini. Disusul musik dari Yennu Ariendra masuk mengiringi Gunawan Maryanto dan Ari Dwianto yang menaiki meja panjang beroda sehingga dapat bergerak, yang di dorong oleh Ega (salah satu kru Pangung).
Gunawan Maryanto dan Ari Dwianto berkostum warna-warni ala penari angguk yang penuh warna retro, duduk dengan dua buah kursi plastik di atas meja. Seolah-olah seperti menaiki sebuah bus; keduanya berperan sebagai seorang supir dan kernet, dengan logat betawian. “Ayooo Tonnngg berangkat….” teriak supir. “Iye.. Bang, tancap..terus..kiri-kiri, awas depan Bang..” sahut kernet. 
Foto: Dokumentasi Teater Garasi
Tampak dua orang sedang memasuki panggung
Foto: Dokumentasi Teater Garasi

Adegan awal ini memberi pintu masuk pengantar memasuki tangga dramatik dalam peristiwa teater. Teater di dalam dan di luar peristiwa keseharian dibenturkan; tanpa batas panggung, tanpa jarak tertentu penonton. Tidak ada sinopsis. Namun, Yudi Ahamad Tajudin memberi pembuka layaknya sebuah pengantar pertemuan peristiwa pertunjukan dengan penonton. Tidak lupa pemberitahuan pada penonton, seperti peristiwa akan direkam oleh beberapa kamera dan akan berada di sekeliling penonton, tidak diperkenankan mengambil gambar dengan HP, tidak merokok, serta tetap mengupayakan prokes berjalan selama pertunjukan. 
Pertunjukan kemudian seolah masuk dalam sebuah frame atau potongan adegan berkesinabungan yang secara kronologi melalui berbagai katakunci, pertanyaan, dan catatan. Bingkai pertunjukan terhubung dari kata kunci awal ke kata kunci berikutnya dramaturgi narasi selanjutnya dijahit. Kata demi kata disusun, adegan demi adegan diatur sedimikan rupa; presentasi laporan, catatan, refleksi, dan berbagai pertanyaan personal para aktor, sutradara sekaligus pemusik, lighting desaigner, pendamping lapangan program telah dilakukan oleh Teater Garasi, yakni Antar Ragam dan proses penciptaan karya Peer Gynts. 
Peristiwa pertunjukan semacam obrolan santai. Semacam mendekatkan pembacaan catatan harian pengalaman lapangan setiap aktor dalam berbagai perpektif persoalan yang ditemui. Lalu bertransformasi menjadi presentasi. Pertunjukan menjelma data yang berhamburan melalui kata, musik, tubuh, video dan peristiwa yang saling bersahutan dan tumpang tindih. Penonton diberi ruang intim menonton proses kerja kreatif para personil yang terlibat dan bergulat dengan perasaan-perasaanya (ketakutan, kecemasan, keraguan, dan pertanyaan) dalam setiap pelaksanaan program dan penciptaan karya teater Garasi secara lebih dekat. Dalam pertunjukan muncul pertanyaan-pertayaaan dan aplikasi dari dinamika kerja dan fungsi teater hari ini dalam kehidupan dan pengetahuan masyarakat.
lelaku di atas panggung
Foto: Dokumentasi Teater Garasi
Bagaimana menemukan posisi teater dan manusia yang bekerja di dalamnya melalui relasi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan di tingkat lokal, nasional dan global. Bagaimana membaca ulang dan menafsir seluruh peristiwa secara ulang alik dengan mempertimbangkan aspek keberadilan, tanggung jawab moral dan etika, yang selalu disadari tidak pernah berangkat dari titik yang sama dalam memandang suatu persoalan. Posisi kerja intelektual dan ego artistik yang selalu bergesekan serta terhubung dengan berbagai persoalan menganai pemerataan akses, baik ekonomi, pengetahuan, sumberdaya manusia, teknologi, media dan moda transaksi yang tidak merata. 
‘Mementaskan Garasi’ tak ubahnya menikmati pentas pada umumnya. Kemudian muncul refleksi lain pada diri yang menonton. Kita dapat melirik keseharian relasi orang di kampung. Kata ‘pentas’ dalam bahasa Jawa, secara akrab muncul misalnya jika ada seeorang akan mengadakan pertunjukan. Biasanya kemudian pertanyaan yang dilafalkan adalah ‘mentas ning endi?’(petas di mana?). Bila meminjam istilah homograf dalam ilmu bahasa, mentas juga dapat dilafalkan berbeda yakni m[ə]ntas (berarti keluar dari air). Pemaparan m[ə]ntas sebagai keluar dari air, memberi gambaran arahan kerja berproses atau perjalanan dari dalam air kemudian keluar air. Dari sebelumnya basah kemudian dapat menjadi kering. 
Pertunjukan malam tersebut tampaknya berusaha ‘mem[ə]ntakan’ Teater Garasi. Sebuah proses yang telah dikerjakan sekian lama dalam berbagai program kerjanya. Kemudian mencoba dibaca dan ditafsirkan ulang dalam peristiwa bersama. Hal lain yang tak kalah urgent adalah mempercakapkan simpanan-simpanan autokritrik dari masing-masing proses kerja yang telah dilalui Teater Garasi, yaitu melalui catatan pengalaman, data, dan fakta lapangan, proses visual, tranformasi musik, dan konteks pertunjukan saat ini menjadi semacam performance lecture
lelaku aktor di atas panggung
Foto: Dokumentasi Teater Garasi

Dalam peristiwa tersebut pun, percakapan tidak hanya mengenai bagaimana pendukung telah membantu proses kerja Garasi (secara materi atau infrastruktur), tetapi juga penonton dilibatkan menjadi bagian penting dalam presentasi karya dan programnya. Selain itu, percakapan yang terjadi adalah proses kerja antar anggota di dalamnya. 
Mencoba menonton ulang Garasi dan manusianya, berarti turut berproses kreatif langsung dari pergulatan dapur prosesnya. Sedekat mungkin mencoba lebih memahami dan mendialogkan bersama proses kerjanya selama ini dalam kerangka proses ‘tranformasi’ posisi relasi teater,dengan pengetahuan kehidupan dan penghidupan saat ini. 
Pertanyaan selanjutnya kemudian muncul apakah pertunjukan ini benar-benar dalam rangka mem[ə]ntaskan Teater Garasi sebagaima yang terasa mencoba memasuki ruang autokritik dari dalam dan memrpercakapkan keluar? Atau dalam rangka mengambil jeda, keluar kemudian untuk masuk kembali ke dalam setelah memahami kedalaman segala persoalanya? 
Pementasan yang digelar secara langsung dan terbatas dengan penonton yang menjaga jarak sesuai protokol kesehatan, seaakan menjadi udara segar. Pertemuan terasa intim di antara berbagai pertunjukan hari ini yang banyak termediakan melalui berbagai aplikasi zoom, youtube, tik-tok dan lain-lain, yang tidak semua hal dalam peristiwa pertunjukan dapat termediakan secara utuh. 
Sedayu, 10 Oktober 2021